Cinta sungguh sesuatu yang sulit dibicarakan. Demikian maju peradaban
manusia, masih juga orang bicara tergagap-gagap tentang cinta. Tak beda
ketika orang harus bicara masalah kebebasan, Tuhan dan soal
seksualitas. Isu-isu ini tidak pernah tuntas dibicarakan dan tidak
pernah berhenti menjadi problem sekaligus energi penggerak hidup
manusia.
Minggu ini kebetulan topik yang lagi hangat di
sekitaranku adalah soal cinta. Dan cinta benar-benar menjadi persoalan
yang berat, merundung serta becek.
Berat karena yang
terjadi adalah kesusahan, pembelengguan dan menghabiskan energi.
Merundung karena orang-orang yang terlibat mengalami kesuntukan parah,
tersiksa dan tidak bebas bergerak. Becek karena akibatnya kena ke
orang-orang di sekitar mereka. Ada empat kasus soal cinta yang aku lihat
minggu ini dan semuanya menyiksa. Ada cinta segi tiga, segi empat, ada
soal kepribadian yang berubah karena berusaha mempertahankan cinta, ada
yang rela diduakan karena tidak mau melepas pacarnya alias cinta mati.
Dan ada fitnah bertebaran karena cinta.
Yang jelas kalau
cinta biasanya membuat orang senyum, tertawa, bahagia dan awet muda,
cinta yang mereka alami ini justru membuat pusing kepala, pengekangan,
stres – bahkan sakit fisik parah. Seorang teman berkomentar bahwa “cinta
itu membebaskan, bila kemudian cinta membuat kita takut, khawatir,
cemas, mengingat dan tidak menjadikan orang yang kita cintai berkembang,
itu namanya bukan cinta, tapi cinta diri sendiri, karena kemudian orang
lain sadar atau tidak “diperalat’ untuk memberi keamanan terhadap
dirinya dan bila cinta sudah membuat perhitungan itu bukan cinta namanya
tapi barter…”
Bila memang cinta itu membebaskan, berarti
hanya sedikit saja dari kita yang benar-benar dianugerahi kesempatan
untuk merasakan cinta. Apakah sebagian besar orang sebetulnya hanya
merasakan suatu perasaan cinta yang palsu? Kalau cinta memang harus
membebaskan, betapa sulitnya manusia meraih cinta itu. Padahal dalam
kenyataan sehari-hari begitu mudahnya orang merasakan jatuh cinta.
Apakah perasaan yang demikian ini bukan cinta namanya?
Aku
pikir persoalannya adalah karena cinta sering dipandang sebagai sesuatu
yang ada di luar sana, di luar diri manusia. Sehingga manusia akan
bahagia jika energi besar bernama cinta itu bersedia menghampiri
manusia, dan dengan demikian melengkapi kekurangan manusia. Pandangan
ini tercermin dari kisah Adam dan Hawa, dimana Adam mencari tulang
rusuknya yang hilang di luar sana, dan sesuatu yang hilang itu adalah
Hawa. Tanpa energi pelengkap ini orang percaya hidupnya tidak akan
lengkap. Pandangan ini persis seperti cara pandang bahwa Tuhan adalah
suatu entitas yang berada di luar diri manusia, energi yang sangat
besar, yang sangat kuasa, sehingga manusia menjadi kecil di hadapan
Entitas ini. Cara memandang Tuhan seperti ini membuat manusia takut akan
Tuhan, menganggap bahwa Tuhan adalah mahluk penghukum yang posisinya
jauh di atas manusia. Orangpun berlomba-lomba untuk semakin dekat dengan
posisi yang “jauh di atas” sana dengan cara apapun, termasuk dengan
cara menghakimi orang yang dianggap akan membuat Tuhan murka, dengan
menghakimi orang-orang yang dianggap murtad, kafir dan sebagainya.
Kebencian dan irasionalitaslah yang lantas muncul dari tuhan semacam
ini.
Begitu juga jika kita memandang bahwa cinta adalah di
luar diri manusia, kita akan selalu menganggap bahwa cinta itu
datangnya dari luar diri kita, dan jika kita tidak dicintai oleh orang
lain, maka diri kita menjadi kurang berharga. Atau bisa jadi kita merasa
jadi pribadi yang lengkap hanya kalau kita bisa mengumpulkan sebanyak
mungkin luapan asmara dari orang di sekitar kita. Orang jadi terobsesi
untuk menguasai cinta, untuk mengumpulkan cinta sebagaimana mereka
mengumpulkan harta. Dan otomatis mereka memperlakukan cinta dengan
prinsip-prinsip orang berdagang; “ada uang, ada jasa” atau “anda cinta,
saya cinta – anda tak cinta saya bisa kejam terhadap anda”. Mereka
memperlakukan cinta seperti mereka memperlakukan berlian; menyimpannya
erat di dalam lemari besi pengekangan, kewaspadaan dan kecurigaan.
Cinta
yang demikian menjadi tidak bebas, karena takut barang miliknya hilang,
maka seseorang mempertahankannya dengan segala cara, termasuk dengan
bertikai, memfitnah atau bahkan main dukun. Dan ketika segala upaya
sudah dikerahkan namun sang cinta tak bisa diperoleh, maka permusuhanlah
yang muncul sebagai gantinya. Benci tapi rindu kata pepatah.
Cara
pandang demikian ternyata juga menyebabkan manusia mengalami krisis
kepercayaan diri. Karena menganggap diri gagal untuk menghimpun energi
cinta dari orang lain, orang akan cenderung menganggap dirinya tidak
berharga atau tidak pantas dicintai.
Kini saatnya kita
sadar kalau cinta itu sebetulnya manunggal dalam diri setiap manusia.
Manusia tidak perlu repot-repot menghimpun energi cinta seperti orang
menghimpun kekayaan dari luar. Ini mirip dengan pandangan bahwa Tuhan
itu bukan sekedar entitas di luar diri manusia yang tidak terjangkau,
namun Tuhan itu sesungguhnya manunggal di dalam setiap unsur alam
semesta, termasuk di dalam diri manusia, manunggaling kawula Gusti kata
orang Kejawen. Segala sesuatunya adalah manifestasi Tuhan, sehingga
tidak ada manusia yang lebih benar dan lebih baik dari manusia lain di
hadapan Tuhan. Kalau kita memandang Tuhan dengan cara seperti ini, tentu
kita tidak akan menuduh orang lain kafir, kita tidak akan ribut-ribut
soal ajaran agama manakah yang paling benar. Karena kita percaya bahwa
banyak jalan yang bisa membawa kita kepada Tuhan. Tuhan menjelma di
mana-mana. Kita tidak berlomba-lomba meraih posisi Tuhan di atas sana
dengan menumpuk pahala-pahala kita sebagai tumpuan menuju Tuhan yang
tinggi. Hanya ketika kita “menarik” Tuhan keluar dari diri kita, maka
kesengsaraan dan “dosa” terjadi. Kita meninggalkan Tuhan, bukan Tuhan
yang meninggalkan kita.
Begitu pula dengan cinta, kalau
kita sadar bahwa cinta itu mewujud dalam diri kita sejak kita ber-Ada,
maka kita tidak tergantung dengan suplai cinta dari luar. Kita tidak
akan menjadi posesif, kita tidak akan kecewa berkepanjangan kalau ada
orang menolak memberikan energi cintanya kepada kita, kita tidak akan
merasa diri kurang komplit tanpa cinta dari luar. Cinta semacam ini
sifatnya lentur dan bebas. Kita bisa mencintai orang tanpa menganggapnya
sebagai hak milik yang harus dipertahankan dari ancaman luar. Kita
bahkan bisa mencintai banyak orang sekaligus dalam satu waktu dengan
berbagai macam perasaan yang datang dan pergi. Cinta menjadi sesuatu
yang menyenangkan karena sifatnya yang dinamis dan timbal balik. Energi
cinta tidak dibekap sehingga menjadi keruh, namun ia dibiarkan mengalir
dan lepas.
Tentu masih akan ada kekecewaan jika orang yang kita
cintai bersikap buruk pada kita, namun rasa kecewa itu tidak menjadi
rasa frustasi, tidak menjadi rasa benci, karena kita yakin bahwa tidak
ada yang terenggut dari diri kita. Kita tetap bisa mencintai dan
memiliki cinta walau orang lain tidak membalas cinta kita dengan
perlakuan yang baik. Dengan demikian kita akan terfokus dengan cinta,
bukan dengan individu. Kita kecewa bukan karena merasa diri tidak
berharga namun lebih karena energi kita tidak bergayung sambut dengan
orang lain. Dan kita bisa segera melanjutkan hidup kita tanpa perlu
terpuruk lama-lama karena patah cinta.
Namun apakah cinta
yang demikian lantas tidak memiliki bentuk? Kepada siapakah cinta yang
paripurna akan kita persembahkan, jika memang cinta itu tidak berbatas
dan tidak termonopoli? Komitmen adalah jawabannya. Kita bisa mencintai
beberapa orang sekaligus dalam satu waktu, namun karena kita mahluk
sosial yang bertanggung jawab kepada manusia lain, tentu kita harus
menetapkan pilihan kepada siapa saya akan berbagi cinta dalam hidup ini.
Komitmen ini berguna agar cinta yang tak berbatas itu tidak menjadi
bahan rebutan atau pengumpulan selayaknya hak milik.
Pada akhirnya,
cinta yang manunggal ini akan membebaskan manusia. Membebaskan seperti
apa? Membebaskan dari keterlekatan dan keterikatan. Membebaskan karena
ia sifatnya berbagi bukan menghimpun, melepaskan bukannya mengekang.
Setujukah sahabat dengan pendapatku ini? Sori kalau masih terlalu abstrak.,,hehe
Wass..
Tidak ada komentar