Select Menu

Slider

What's Trending?

pamplet

Blog Archive

Text Widget 2

sponsor

Text Widget

infor

Blogger news

infor

Follow us on Facebook

https://www.facebook.com/MumtazaCenter

Travel

Performance

Cute

My Place

Slider

Racing

Videos

» » Cinta yang menyiksa dan membosankan
«
Next
daftar anggota keluarga MUMTAZA KAIRO
»
Previous
Debat atau Diskusi


Cinta sungguh sesuatu yang sulit dibicarakan. Demikian maju peradaban manusia, masih juga orang bicara tergagap-gagap tentang cinta. Tak beda ketika orang harus bicara masalah kebebasan, Tuhan dan soal seksualitas. Isu-isu ini tidak pernah tuntas dibicarakan dan tidak pernah berhenti menjadi problem sekaligus energi penggerak hidup manusia.

Minggu ini kebetulan topik yang lagi hangat di sekitaranku adalah soal cinta. Dan cinta benar-benar menjadi persoalan yang berat, merundung serta becek.

Berat karena yang terjadi adalah kesusahan, pembelengguan dan menghabiskan energi. Merundung karena orang-orang yang terlibat mengalami kesuntukan parah, tersiksa dan tidak bebas bergerak. Becek karena akibatnya kena ke orang-orang di sekitar mereka. Ada empat kasus soal cinta yang aku lihat minggu ini dan semuanya menyiksa. Ada cinta segi tiga, segi empat, ada soal kepribadian yang berubah karena berusaha mempertahankan cinta, ada yang rela diduakan karena tidak mau melepas pacarnya alias cinta mati. Dan ada fitnah bertebaran karena cinta.

Yang jelas kalau cinta biasanya membuat orang senyum, tertawa, bahagia dan awet muda, cinta yang mereka alami ini justru membuat pusing kepala, pengekangan, stres – bahkan sakit fisik parah. Seorang teman berkomentar bahwa “cinta itu membebaskan, bila kemudian cinta membuat kita takut, khawatir, cemas, mengingat dan tidak menjadikan orang yang kita cintai berkembang, itu namanya bukan cinta, tapi cinta diri sendiri, karena kemudian orang lain sadar atau tidak “diperalat’ untuk memberi keamanan terhadap dirinya dan bila cinta sudah membuat perhitungan itu bukan cinta namanya tapi barter…”

Bila memang cinta itu membebaskan, berarti hanya sedikit saja dari kita yang benar-benar dianugerahi kesempatan untuk merasakan cinta. Apakah sebagian besar orang sebetulnya hanya merasakan suatu perasaan cinta yang palsu? Kalau cinta memang harus membebaskan, betapa sulitnya manusia meraih cinta itu. Padahal dalam kenyataan sehari-hari begitu mudahnya orang merasakan jatuh cinta. Apakah perasaan yang demikian ini bukan cinta namanya?

Aku pikir persoalannya adalah karena cinta sering dipandang sebagai sesuatu yang ada di luar sana, di luar diri manusia. Sehingga manusia akan bahagia jika energi besar bernama cinta itu bersedia menghampiri manusia, dan dengan demikian melengkapi kekurangan manusia. Pandangan ini tercermin dari kisah Adam dan Hawa, dimana Adam mencari tulang rusuknya yang hilang di luar sana, dan sesuatu yang hilang itu adalah Hawa. Tanpa energi pelengkap ini orang percaya hidupnya tidak akan lengkap. Pandangan ini persis seperti cara pandang bahwa Tuhan adalah suatu entitas yang berada di luar diri manusia, energi yang sangat besar, yang sangat kuasa, sehingga manusia menjadi kecil di hadapan Entitas ini. Cara memandang Tuhan seperti ini membuat manusia takut akan Tuhan, menganggap bahwa Tuhan adalah mahluk penghukum yang posisinya jauh di atas manusia. Orangpun berlomba-lomba untuk semakin dekat dengan posisi yang “jauh di atas” sana dengan cara apapun, termasuk dengan cara menghakimi orang yang dianggap akan membuat Tuhan murka, dengan menghakimi orang-orang yang dianggap murtad, kafir dan sebagainya. Kebencian dan irasionalitaslah yang lantas muncul dari tuhan semacam ini.

Begitu juga jika kita memandang bahwa cinta adalah di luar diri manusia, kita akan selalu menganggap bahwa cinta itu datangnya dari luar diri kita, dan jika kita tidak dicintai oleh orang lain, maka diri kita menjadi kurang berharga. Atau bisa jadi kita merasa jadi pribadi yang lengkap hanya kalau kita bisa mengumpulkan sebanyak mungkin luapan asmara dari orang di sekitar kita. Orang jadi terobsesi untuk menguasai cinta, untuk mengumpulkan cinta sebagaimana mereka mengumpulkan harta. Dan otomatis mereka memperlakukan cinta dengan prinsip-prinsip orang berdagang; “ada uang, ada jasa” atau “anda cinta, saya cinta – anda tak cinta saya bisa kejam terhadap anda”. Mereka memperlakukan cinta seperti mereka memperlakukan berlian; menyimpannya erat di dalam lemari besi pengekangan, kewaspadaan dan kecurigaan.

Cinta yang demikian menjadi tidak bebas, karena takut barang miliknya hilang, maka seseorang mempertahankannya dengan segala cara, termasuk dengan bertikai, memfitnah atau bahkan main dukun. Dan ketika segala upaya sudah dikerahkan namun sang cinta tak bisa diperoleh, maka permusuhanlah yang muncul sebagai gantinya. Benci tapi rindu kata pepatah.
Cara pandang demikian ternyata juga menyebabkan manusia mengalami krisis kepercayaan diri. Karena menganggap diri gagal untuk menghimpun energi cinta dari orang lain, orang akan cenderung menganggap dirinya tidak berharga atau tidak pantas dicintai.

Kini saatnya kita sadar kalau cinta itu sebetulnya manunggal dalam diri setiap manusia. Manusia tidak perlu repot-repot menghimpun energi cinta seperti orang menghimpun kekayaan dari luar. Ini mirip dengan pandangan bahwa Tuhan itu bukan sekedar entitas di luar diri manusia yang tidak terjangkau, namun Tuhan itu sesungguhnya manunggal di dalam setiap unsur alam semesta, termasuk di dalam diri manusia, manunggaling kawula Gusti kata orang Kejawen. Segala sesuatunya adalah manifestasi Tuhan, sehingga tidak ada manusia yang lebih benar dan lebih baik dari manusia lain di hadapan Tuhan. Kalau kita memandang Tuhan dengan cara seperti ini, tentu kita tidak akan menuduh orang lain kafir, kita tidak akan ribut-ribut soal ajaran agama manakah yang paling benar. Karena kita percaya bahwa banyak jalan yang bisa membawa kita kepada Tuhan. Tuhan menjelma di mana-mana. Kita tidak berlomba-lomba meraih posisi Tuhan di atas sana dengan menumpuk pahala-pahala kita sebagai tumpuan menuju Tuhan yang tinggi. Hanya ketika kita “menarik” Tuhan keluar dari diri kita, maka kesengsaraan dan “dosa” terjadi. Kita meninggalkan Tuhan, bukan Tuhan yang meninggalkan kita.

Begitu pula dengan cinta, kalau kita sadar bahwa cinta itu mewujud dalam diri kita sejak kita ber-Ada, maka kita tidak tergantung dengan suplai cinta dari luar. Kita tidak akan menjadi posesif, kita tidak akan kecewa berkepanjangan kalau ada orang menolak memberikan energi cintanya kepada kita, kita tidak akan merasa diri kurang komplit tanpa cinta dari luar. Cinta semacam ini sifatnya lentur dan bebas. Kita bisa mencintai orang tanpa menganggapnya sebagai hak milik yang harus dipertahankan dari ancaman luar. Kita bahkan bisa mencintai banyak orang sekaligus dalam satu waktu dengan berbagai macam perasaan yang datang dan pergi. Cinta menjadi sesuatu yang menyenangkan karena sifatnya yang dinamis dan timbal balik. Energi cinta tidak dibekap sehingga menjadi keruh, namun ia dibiarkan mengalir dan lepas.
Tentu masih akan ada kekecewaan jika orang yang kita cintai bersikap buruk pada kita, namun rasa kecewa itu tidak menjadi rasa frustasi, tidak menjadi rasa benci, karena kita yakin bahwa tidak ada yang terenggut dari diri kita. Kita tetap bisa mencintai dan memiliki cinta walau orang lain tidak membalas cinta kita dengan perlakuan yang baik. Dengan demikian kita akan terfokus dengan cinta, bukan dengan individu. Kita kecewa bukan karena merasa diri tidak berharga namun lebih karena energi kita tidak bergayung sambut dengan orang lain. Dan kita bisa segera melanjutkan hidup kita tanpa perlu terpuruk lama-lama karena patah cinta.

Namun apakah cinta yang demikian lantas tidak memiliki bentuk? Kepada siapakah cinta yang paripurna akan kita persembahkan, jika memang cinta itu tidak berbatas dan tidak termonopoli? Komitmen adalah jawabannya. Kita bisa mencintai beberapa orang sekaligus dalam satu waktu, namun karena kita mahluk sosial yang bertanggung jawab kepada manusia lain, tentu kita harus menetapkan pilihan kepada siapa saya akan berbagi cinta dalam hidup ini. Komitmen ini berguna agar cinta yang tak berbatas itu tidak menjadi bahan rebutan atau pengumpulan selayaknya hak milik.

Pada akhirnya, cinta yang manunggal ini akan membebaskan manusia. Membebaskan seperti apa? Membebaskan dari keterlekatan dan keterikatan. Membebaskan karena ia sifatnya berbagi bukan menghimpun, melepaskan bukannya mengekang.

Setujukah sahabat dengan pendapatku ini? Sori kalau masih terlalu abstrak.,,hehe
Wass..

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
daftar anggota keluarga MUMTAZA KAIRO
»
Previous
Debat atau Diskusi

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Jangan ampe lo pade SMP (setelah membaca pergi) gitu aje.....koment kek dikiiiiiiiiit,..ditunggu yeee ^_^